KAJIAN AYAT AL QURAN SURAT AL ALAQ AYAT 1-9

KAJIAN AYAT
AL QURAN SURAT AL ALAQ AYAT 1-9





DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 27
1.      TEGUH ILLAHI WB                                                                         1500670
2.      AKHMAD MAULANA                   
3.      TUBAGUS IDHARUL JIHAD  
4.      JIA FAJARISMAN





TUTORIAL PAI-SPAI MKDU
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016










Q.S AL-‘ALAQ AYAT 1-9
Surat Al-'Alaq Ayat 1
1.      Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Surat Al-'Alaq Ayat 2
2.      Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
 
Surat Al-'Alaq Ayat 3
3.      Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
 
Surat Al-'Alaq Ayat 4
4.      Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
 
Surat Al-'Alaq Ayat 5
5.      Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
 
Surat Al-'Alaq Ayat 6
6.      Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
 
Surat Al-'Alaq Ayat 7
7.      karena dia melihat dirinya serba cukup.
 
Surat Al-'Alaq Ayat 8
8.      Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).
 
Surat Al-'Alaq Ayat 9
9.      Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang
Surat Iqro’ atau surat Al ‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Surat tersebut adalah surat Makkiyyah. Di awal-awal surat berisi perintah membaca. Yang dengan membaca dapat diketahui perintah dan larangan Allah. Jadi manusia bukanlah dicipta begitu saja di dunia, namun ia juga diperintah dan dilarang. Itulah urgensi membaca, maka bacalah, bacalah!
Bacalah! Bacalah!
Surat ini adalah yang pertama kali turun pada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Surat tersebut turun di awal-awal kenabian. Ketika itu beliau tidak tahu tulis menulis dan tidak mengerti tentang iman. Lantas Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu. Lalu Jibril memerintahkan nabi untuk membacanya. Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- enggan. Beliau berkata,
مَا أَنَا بِقَارِئٍAku tidak bisa membaca.
(HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya



TAFSIR PER AYAT

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” (ayat 1). Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.
Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah.” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”
Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Ammanya menerangkan: “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.”
“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” (ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
“Dia yang mengajarkan dengan qalam.” (ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu.” (ayat 5).
Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya:
“Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.”
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.
Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya: “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.”
Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya.
Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.
Inilah peringatan kepada Rasulullah SAW sendiri yang akan menghadapi tugas yang berat menjadi Rasul. Dia akan berhadapan dengan manusia, dan manusia itu pada umumnya mempunyai suatu sifat yang buruk. Yaitu kalau dia merasa dirinya telah berkecukupan, telah menjadi orang kaya dengan harta-benda, atau berkecukupan karena dihormati orang, disegani dan dituakan dalam masyarakat:
“Sungguh! Sesungguhnya manusia itu suka sekali melampaui batas.” (ayat 6). “Lantaran dia melihat dirinya sudah berkecukupan.” (ayat 7). Lantaran itu dia tidak merasa perlu lagi menerima nasihat dan pengajaran dari orang lain. Maka hiduplah dia menyendiri, takut akan kena. Dan harta bendanya yang berlebih-lebihan itu tidak lagi dipergunakannya untuk pekerjaan yang bermanfaat, padahal: “Sesungguhnya kepada Tuhanmulah tempat kembali.” (ayat 8).
Apabila telah datang saat kembali kepada Tuhan, yaitu maut, kekayaan yang disangka mencukupi itu tidak sedikit pun dapat menolong.
Tepatlah apa yang ditafsirkan oleh Abus Su’ud bahwa karena hidup merasa kaya berkecukupan, orang melampaui batas-batas yang patut dijaga. Akhir kelaknya dia mesti kembali juga kepada Yang Maha Kuasa atas dirinya dan atas hartanya. Dia mesti mati, dan sesudah mati dia kelak akan dibangkitkan, berhadapan dengan Tuhan sendiri, bukan dengan yang lain. Di situ kelak engkau rasakan akibat dari sikapmu yang tidak mau tahu, yang merasa cukup dan melampau itu.
Sebab turunnya ayat lanjutan dari 9 sampai 14 ini ialah bahwa setelah datang ayat-ayat memerintahkan Rasulullah SAW menyampaikan da’wah dan seruannya kepada penduduk Makkah, banyaklah orang yang benci dan marah. Di antaranya ialah orang-orang yang sifatnya telah dikatakan kepada ayat 6 sampai 8 tadi, yang merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya melanggar dan melampaui batas. Seorang di antara mereka yang sangat terkemuka ialah Abu Jahal. Dia benci benar kepada Rasul, sebab beliau menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang hanya menyembah kepada Allah Yang Esa. Dan Nabi SAW dengan tidak perduli kepada siapa pun, pergi sembahyang di Ka’bah menyembah Allah menurut keyakinannya dan cara yang telah dipimpinkan Tuhan kepadanya.
Menurut sebuah Hadis dari Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Bukhara dan Muslim, setelah Abu Jahal mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muhammad telah pernah sembahyang seperti itu di Ka’bah, sangat murkanya, sampai dia berkata: “Kalau saya lihat Muhammad itu sembahyang di dekat Ka’bah, akan saya injak-injak kuduknya.”
Seketika ancaman Abu Jahal itu disampaikan orang kepada beliau SAW, beliau berkata: “Kalau dia berani, malaikatlah yang akan menariknya.”
Maksud susunan ayat-ayat ini ialah: “Adakah engkau perhatikan.” (pangkal ayat 9). Atau adakah teringat olehmu, ya Muhammad Rasul Allah, “Orang yang melarang?” (ujung ayat 9)



KESIMPULAN
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis
“Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.” Apabila telah datang saat kembali kepada Tuhan, yaitu maut, kekayaan yang disangka mencukupi itu tidak sedikit pun dapat menolong.



Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
Tafsir Al-Azar oleh Buya Hamka.


Comments