PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INKLUSIF MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN YANG DIINDIVIDUALISASIKAN (INDIVIDUALIZED EDUCATIONAL PROGRAM) DAN SISTEM PENDUKUNG (SUPPORT SYSTEM)

Hasil gambar untuk pendidikan inklusif

A. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia nuansa warna budaya yang unik dan khas telah menjadikannya sebagai negeri pelangi yang plural. Sebagai bangsa yang besar dan nuansa budaya yang unik, pendidikan memegang peran kunci dalam pembangunan bangsa, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan untuk setiap warganya.
Perjalanan pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan penting, ini tercermin dari kurikulum-kurikulum yang pernah digunakan, mulai dari kurikulum subyek akademis yang digagas oleh para akhli pendidikan klasik hingga kurikulum berbasiskan kompetensi yang digagas oleh para akhli pendidikan pribadi dan pendidikan teknologi. Pergeseran paradigma pendidikan dari yang beraliran klasik kepada yang beraliran pribadi dan aliran pendidikan teknologi diwarnai oleh pandangan dan kesadaran warganya, utamanya kaum terdidik dalam memandang dirinya. Para akhli yang beraliran pendidikan klasik berasumsi bahwa seluruh pengetahuan, ide, nilai-nilai telah ditemukan oleh akhli-akhli terdahulu, sedangkan  pemikiran  pendidikan  pribadi bertolak dari pemikiran bahwa manusia sejak dilahirkan telah dikaruniai dengan potensi-potensi, dan aliran pendidikan teknologi menekankan kepada pembentukan dan penguasaan kompetensi  Pergeseran paradigma pendidikan tersebut yaitu dari yang beraliran pendidikan klasik dengan kurikulum subyek akademik kepada yang beraliran pendidikan pribadi dengan kurikulum humanis, pendidikan teknologi dengan kurikulum teknologis serta yang beraliran pendidikan interaksional dengan kurikulum rekonstruksi sosial berimplikasi terhadap pengelolaan proses pendidikan, salah satunya terhadap model mengajar yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran, mulai dari model mengajar yang berpusat pada guru, yaitu dari pengajaran yang didominasi guru (teacher centre) yang dianggap sebagai pembelajaran konvensional kepada pembelajaran yang didominasi siswa (child centre) dengan menekankan kepada pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan.

Perbedaan model pembelajaran konvensional (teacher centre) dengan model  pembelajaran yang tidak konvensional (child centre) dapat dilihat pada sisi aktivitas guru, isi (mata pelajaran), organisasi kelas, dan ruang belajar. Perbedaan-perbedaan model pembelajaran yang berpusat pada guru dan yang berpusat pada anak adalah sebagai berikut: 



Pembelajaran    konvensional    (Teacher centre)


Pembelajaran nonkonvensional (child centre) atau PAKEM

Guru:
1.    Satu-satunya sumber belajar murid 
2.    Bertindak sebagai instruktur 
3.    Sebagai “bos” murid 

Guru
1.    Banyak sumber belajar 
2.    Bertindak sebagai fasilitator 
3.    Sebagai “teman” dan pengayom anak 

Isi (mata pelajaran)
1.     Mengacu pada buku paket dan mengikuti kurikulum secara harfiah dan kaku 
2.     Jarang memakai alat peraga 
3.     Membosankan, kurang menarik anak 

Isi (mata pelajaran)
1.    Kurikulum dan buku paket sebagai panduan 
2.    Selalu memakai alat peraga untuk memperjelas pembelajaran,
eksperimen-tasi, observasi, dll 
3.    Anak tertarik, senang dan termotivasi ingin belajar terus, kadang-kadang lupa waktu 

Organisasi kelas
1.        Duduk berjajar, klasikal 
2.        Biasanya murid   harus   duduk
dibangku 
3.        Guru ada dimuka kelas 

Organisasi kelas
1.    Tempat duduk disesuaikan dengan kebutuhan 
2.    Fleksibel, bisa duduk atau lesehan 
3.    Jika klasikal tempat duduk berbentuk letter U

Ruang belajar
1.        Pembelajaran selalu didalam ruang
kelas saja 
2.        Ruangan belajar kososng dan bersih dari alat peraga, hasil karya anak 
3.        Suasana kelas sepi, kaku dan terkesan “menakutkan” 

Ruang belajar
1.     Bisa didalam atau diluar kelas 
2.     Ruang belajar penuh dengan pajangan 
3.     Suasana kelas hidup 


Model pembelajaran yang didominasi siswa sangat menekankan terhadap perkembangan intelektual, keutuhan pribadi, perkembangan emosi dan sosial, kejujuran, kebenaran, ketulusan, penguasaan kompetensi yang berorientasi masa sekarang dan yang akan datang, serta menekankan interaksi dengan berbagai pihak (siswa dengan guru, lingkungan dan pemikiran siswa dengan kehidupannya)
Pengembangan model pembelajaran di Indonesia dalam operasional pengembangannya, keempat aliran pendidikan tersebut masih digunakan, yaitu memberikan penguasaan sejumlah pengetahuan, pengembangan potensi individu dan penguasaan sejumlah kompetensi yang diproyeksikan dapat bermanfaat di kemudian hari serta mengembangkan keterampilan melakukan interaksi, hanya  penekanannya dalam pengembangan kurikulum dan pengajaran yang dikembangkan  saat ini lebih diarahkan kepada kondisi riil bangsa Indonesia yang sangat Bhineka Tunggal Ika (BTI) yang menghimpun keragaman dalam sebuah kebersamaan. Penekanan-penekanan pengembangan kurikulum, khususnya dalam penekanan pembelajarannya yang lebih memperhatikan kondisi siswa sebagai pelaku utama dalam pembelajarannya. Praktek praktek pengembangan kurikulum demikian merupakan landasan penting dalam menciptakan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran.
Suatu lingkungan yang inklusif, dan ramah terhadap pembelajaran (LIRP) adalah lingkungan yang menerima, merawat dan mendidik semua anak tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, fisik, intelektual, sosial, emosional, linguitik atau karakteristik lainnya. Mereka bisa saja anak-anak yang cacat atau berbakat, anak jalanan atau pekerja, anak-anak dari orang desa atau nomadik, anak dari minoritas budayanya atau etnisnya, linguitiknya, anak-anak yang terjangkit HIV dan AIDS, atau anak-anak dari area atau kelompok yang lemah atau termarginalisasi lainnya.
Model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pendidikan yang diindividualisasikan dapat dilakukan apabila didukung seluruh komponen internal dan eksternal persekolahan serta ada komitmen untuk mengoptimalikan potensi siswa sesuai dengan bakat, minat dan karakteristiknya.     

B. PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INKLUSIF MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN YANG DIINDIVIDUALISASIKAN (INDIVIDUALIZED EDUCATIONAL PROGRAM) Orientasi Model  

Perubahan Praktis

Inklusi merupakan perubahan praktis yang memberi peluang kepada anak dengan latar belakang dan kemampuan berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus (child with special needs), tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat.
Inklusi berarti bahwa sebagai guru bertanggungjawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak yang ada di masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat dll.
 

Pengertian Inklusi dan Ramah terhadap Pembelajaran

Mengikutsertakan semua anak tanpa kecuali     

Inklusi. Selama ini istilah “inklusi” diartikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (child with special needs) di kelas umum dengan anakanak lainnya. Inklusi dalam tulisan ini diartikan secara lebih luas. Inklusi berarti mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar. Secara lebih luas inklusi juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali, seperti:
-       Anak yang menggunakan bahasa ibu, dan bahasa minoritas yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas
-       Anak yang beresiko putus sekolah karena korban bencana, konflik, bermasalah dalam sosial ekonomi, daerah terpencil, atau tidak berprestasi dengan baik;
-       Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda;
-       Anak yang sedang hamil
-       Anak yang bersiko putus sekolah karena kesehatan tubuh yang rentan/penyakit kronis seperti asma, jantung, alergi, terinfeksi HIV dan AIDs
-       Anak yang berusia sekolah tetapi tidak bersekolah
Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaaan dalam pembelajaran di kelas, misalnya:
-       Anak yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dengan buku-buku pelajaran dan bacaan yang digunakan
-       Anak yang tidak pernah diberikan kesempatan ikut aktif dalam kelas
-       Anak yang tidak pernah mendapatkan bantuan ketika mengalami hambatan belajar          

Ramah terhadap Pembelajaran

Sekolah yang ramah terhadap anak merupakan sekolah dimana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya secara optimal di dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran tercipta secara alami dengan baik.
Sekolah bukan hanya tempat anak belajar, tetapi guru pun juga ikut belajar dari keberagaman anak didiknya
Lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah kepada anak dan guru, artinya:
-       Anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar;
-       Menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran;
-       Mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar, dan 
-       Guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik
Model pembelajaran pendidikan inklusif bertujuan memberikan layanan pembelajaran optimal terhadap semua anak dalam mengembangkan potensinya. Dalam pengembangan pembelajarannya,  model pembelajaran inklusif  bertitik tolak dari kondisi realita potensi anak yang sangat beragam, yaitu dengan mengembangkan program pendidikan (pembelajaran) yang diindividualisasikan (Individalized Educational Program). Dalam pengembangan program ini, anak dapat belajar secara klasikal atau individual sesuai dengan potensi dan kapasitasnya 

Esensi Program Pembelajaran yang Diindividualisasikan (PPI) 

Program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) diadopsi dari istilah  Individualized Educational Program  (IEP), dalam tulisan ini IEP akan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Program Pembelajaran Individual (PPI). Digunakan istilah ini didasarkan kepada kenyataan dimana secara operasional inti persoalan dalam IEP pada dasarnya lebih menyangkut kepada kepentingan proses pembelajaran di dalam kelas. Selanjutnya dalam tulisan ini akan digunakan istilah Program Pembelajaran Individual (PPI), dan bukan program pendidikan yang diindividualisasikan (IEP) sebagai alih bahasa dari Individualized Educational Program.
PPI merupakan dokumen tertulis yang dikembangkan dalam suatu rencana pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus (child with special need). Mercer and Mercer (1989), mengemukakan bahwa “program individualisasi merujuk kepada suatu program pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”. Sejalan dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh Lynch (1994) mengemukakan bahwa IEP merupakan suatu kurikulum atau suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar. Ini menunjukkan bahwa PPI pada prinsipnya  adalah suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada setiap kebutuhan individu (anak). Kedua pandangan di atas mengandung pengertian bahwa siswalah yang harus mengendalikan program, bukan program yang mengendalikan siswa.
Para akhli pendidikan sepakat bahwa salah satu pijakan dalam penyusunan program hendaknya bertitik tolak dari kebutuhan anak, karena anak yang akan dibelajarkan. Untuk itu, masalah kebutuhan, perkembangan dan minat anak menjadi orientasi dalam mempertimbangkan penyusunan program.
PPI bertolak dari suatu pandangan yang mengakui manusia merupakan makhluk individu atau suatu kesatuan dari jiwa dan raga (a whole being) yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yang dikenal sebagai organisme. Dalam organisme terdapat dorongan (drives) yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need) dan merupakan daya penggerak (motivation) untuk mempertahan kebutuhan hidupnya (survive). Dorongan, kebutuhan dan motivasi inilah sifatnya berbedabeda, atau memiliki ciri khas tersendiri antara organisme yang satu dengan organisme yang lainnya. Pandangan pandangan tersebut intinya menghendaki agar kegiatan proses pembelajaran lebih bersifat individual.
Kebutuhan merupakan dasar timbulnya tingkah laku individu. Pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup individu merupakan hal yang sangat mendasar, dan kebutuhan belajar pada hakekatnya merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan. Untuk itu, PPI merupakan cara yang tepat di dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebuhan khusus, permasalahan dan hambatan belajarnya sangat kompleks serta perbedaan satu sama lainnya sangat tajam, ini membawa konsekuensi kepada kompetensi guru didalam menyusun rencana pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka. Kegagalan-kegagalan dalam mengakomodasi kebutuhan anak dapat berakibat buruk terhadap proses pembelajaran lebih lanjut. Oleh karena itu didalam pendidikan anak berkebutuhan khusus, keberadaan PPI sangat penting, karena PPI merupakan cara yang senantiasa berupaya mengakomodasi kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus.
Banyak fakta menunjukkan bahwa perbedaan individu pada anak berkebutuhan khusus sangat besar walaupun dalam tingkat IQ yang sama. Misalnya: anak tunagrahita yang memiliki IQ sama (70), tingkat kelas dan pelajaran sama pula, dan keduanya sama-sama belajar aritmatika, merujuk kepada kurikulum, kedua anak tersebut akan sama-sama menyelesaikan/mempelajari masalah pengurangan, tetapi ternyata kedua anak tersebut memiliki kemampuan yang sangat berbeda, yang satu sudah sampai masalah pengurangan sedangkan yang satunya baru memahami konsep bilangan. Apabila kepada kedua anak tersebut diperlakukan sama sudah dapat dipastikan pembelajarannya akan menemukan kegagalan dan akan menimbulkan permasalahan baru, karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. PPI pada dasarnya untuk menghindari kegagalan kegagalan dalam proses pembelajaran dan untuk meningkatkan kemampuan anak sesuai dengan potensinya. Hasil penelitian Arravey (dalam Lynch, 1994) menunjukkan bahwa kelompok eksperiment (treatment) pada 32 orang anak dengan menggunakan IEP secara signifikan lebih tinggi dari kelompok kontrol. Anak anak pada kelompok eksperimen lebih interes dalam belajar. Ini dapat difahami bahwa proses pembelajaran yang didasarkan kepada masalah dan kebutuhan anak lebih membantu pencapaian tujuan pembelajaran anak
 Langkah-langkah Operasional Penyusunan PPI
PPI disusun untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap anak dalam upaya mengembangkan potensinya. Menurut Kitano and Kirby (1986) ada lima langkah yang harus dilakukan untuk mengembangkan program pembelajaran yang diindividualisasikan, yaitu: 1) pembentukan tim PPI, 2) asesmen (menilai) kebutuhan khusus anak, 3) mengembangkan tujuan jangka panjang dan pendek, 4) merancang metode dan prosedur pembelajaran, dan 5) melakukan evaluasi kemajuan belajar anak

1. Pembentukan Tim PPI

Penyusunan program diawali dengan membentuk tim, tim ini disebut Tim PPI. Tim ini memiliki tugas merancang dan menyusun program pembelajaran yang akan dikembangkan di kelas. Anggota tim terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang bekerja dan memiliki informasi untuk dapat dikembangkan lebih lanjut dalam penyusunan program, misalnya: guru, kepala sekolah, psikolog, orangtua, konselor, speech therapist, pediatris dan konselor. Kepala sekolah dalam hal ini memegang posisi sentral karena bertugas sebagai koordinator dan konsultan bagi anggota tim yang lainnya. Mendudukkan kepala sekolah dalam posisi sebagai koordinator dan konsultan dimaksudkan agar para anggota khususnya orangtua dan guru memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan temuannya. Tim ini duduk bersama dan mendiskusikan serta mencari kesepakatan-kesepakatan serta solusi atas program yang akan dikembangkan. Dua hal penting yang harus disiapkan sekolah sebelum membentuk tim yang akan menyusun (mendiskusikan) program, yaitu:
a.     Sekolah harus sudah menyiapkan gambaran umum masing-masing anak yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen, untuk dikonfirmasikan lebih lanjut kepada orangtua. Ini sangat penting untuk mencocokan dan melengkapi temuan orangtua dan hasil asesmen yang dilakukan sekolah. Informasi orangtua sangat penting sekali, karena orangtua yang paling memahami secara detil tentang prilaku, kemampuan dan kelemahan anaknya. Memberikan informasi tentang alasan-alasan perlu dibentuknya tim PPI berikut tujuan, sasaran, serta posisi orangtua dalam tim tersebut sangat penting
b.    Menyiapkan angket mengenai harapan-harapan orangtua dan gambaran mengenai anak-anaknya, sehingga pada akhir pertemuan diharapkan tercapai kesepakatan-kesepakatan mengenai prioritas dan sasaran yang akan ditetapkan dalam PPI           

Contoh angket untuk orangtua

ANGKET ORANGTUA
          Nama                :............................................................
          Alamat              :............................................................
Pekerjaan :...........................................................
          Tanggal            :...........................................................
Harap dibawa pada pertemuan PPI pada tanggal.............
Sekolah sangat percaya dan sangat menghargai dukungan dan minat Bapak/Ibu dalam memberikan informasi tentang putra/i-nya dan untuk mendukung suksesnya pencapaian pendidikan di sekolah kami dan kerjasama ini sangat penting dalam membantu perkembangan putra/i Bapak/Ibu.
a.      Kemukakan hasil-hasil yang diharapkan dicapai oleh putra/i Bapak/Ibu di sekolah kami dalam jangka panjang, misalnya: pada akhir tahun, atau akhir sekolah
a)     ..................................................................................................................
b)     ..................................................................................................................
b.      Pada semester yang akan datang, apakah sasaran yang diharapkan tercapai oleh putra-putrinya
a)     ...................................................................................................................
b)     ....................................................................................................................
c.      Keterampilan mana yang dianggap sebagai prioritas yang harus dimiliki oleh putra/i Bapak/Ibu
a)     ................kemampuan akademis fungsional
b)     ...............komunikasi
c)     ...............kemampuan bina diri (activity daily living)
d)     ...............ketrampilan hidup mandiri
e)     ..............perkembangan sosial
f)     ..............prilaku
d.      Apa kelebihan yang menonjol dari putra/i Bapak/Ibu saat ini ?
a)     ............................................................................................................................
b)     ...........................................................................................................................
e.      Apa yang nampak sebagai kekurangan putra/i Bapak/Ibu ?
a)     ...........................................................................................................................
b)     ...........................................................................................................................
f.      Prilaku apa yang menjadi masalah dari putra/i Bapak/ibu saat ini ?
a)     ........................................................................................................................
b)     ........................................................................................................................ 
g.      Bagaimana putra/i Bapak/Ibu saat mengekspresikan perasaan gembira dan saat tidak senang terhadap sesuatu hal, misalnya terhadap Bapak/Ibu ?
a)         .............................................................................................................................
b)         ............................................................................................................................
h.      Bagaimana komunikasi putra/i Bapak/Ibu dengan orang lain ?
............................................................................................................................. 
i.       Bagaimana sikap putra/i Bapak/Ibu ketika menginginkan sesuatu ?
.............................................................................................................................
j.       Kegiatan apa yang paling menonjol yang dilakukan di rumah oleh putra/i ?
..........................................................................................................................
k.      Bagaimana cara Bapak/Ibu memilih kegiatan untuk putra/i-nya di rumah ?
..........................................................................................................................
l.       Apa yang dilakukan oleh putra/i Bapak/Ibu dalam kegiatan mengurus dirinya di rumah ? ..... .......................................... ...................................... .......
m.     Kegiatan apa yang dapat dilakukan putra/i Bapak/Ibu berkaitan dengan keterampilan tangan/jari?   ................................................................. ............
.............................................................................................................................
n.      Kegiatan apa yang dilakukan oleh putra/i Bapak/Ibu ketika dia duduk di meja ? ..................................................................................................................
o.      Seberapa jauh putra/i Bapak/Ibu dapat bergaul dengan anak-anak lain di lingkungannya ? ...................................................................................................
p.      Pada saat waktu luang, kegiatan apa yang bapak/ibu berikan kepada putra/inya ? .....................................................................................................................
q.      Adakah masalah di rumah yang berkenaan dengan putra/i Bapak/Ibu yang dapat kami bantu untuk mengatasinya ? ..............................................................
r.      Bagaimana respon putra/i Bapak/Ibu, ketika diminta untuk belajar ? .........
................................................................................................................................
s.      Apakah instruksi yang Bapak/Ibu berikan kepada putra/i-nya difahami dengan baik ? ...........................................................................................................
t.      Adakah informasi lain yang menurut Bapak/Ibu berharga untuk dibicarakan dalam pertemuan nanti ? (tulis secara rinci). ................................................ 
                                                                      Orangtua siswa
                                                                      ________________
Besar harapan kami dalam pertemuan nanti akan diperoleh kesepakatankesepakatan untuk meningkatkan potensi putra/i Bapak/Ibu. Atas kerjasamanya dihaturkan terima kasih
      

2. Menilai Kebutuhan

Langkah awal tim PPI yaitu melakukan penilaian terhadap kekuatan dan kelemahan anak. Informasi ini akan menjadi data penting dan pertama yang harus ditemukan untuk selanjutnya dikonfirmasikan dengan hasil asesmen yang telah dilakukan oleh sekolah, dan hasil penilaian ini akan dijadikan dasar-dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran.
Kegiatan awal ini biasanya dilakukan oleh guru sebagai tim PPI, dan dalam pelaksanaan pengumpulan datanya dapat dilakukan melalui kegiatan observasi, wawancara, atau dengan daftar pertanyaan yang berbentuk format-format, misalnya format untuk riwayat hidup, perkembangan bahasa, perkembangan motorik, prilaku dll.

3. Mengembangkan Tujuan Pembelajaran  

Proses mengembangkan tujuan pembelajaran dilakukan dengan cara menyelaraskan standar kompetensi dalam kurikulum dengan temuan tim PPI dengan hasil asesmen yang dilakukan oleh sekolah. Hasil asesmen dapat ditempatkan di atas, di tengah atau di bawah kompetensi yang terdapat dalam buku kurikulum. Hal tersebut akan bergantung kepada kondisi kemampuan anak. Dalam IEP tujuan pembelajaran disebut dengan istilah tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka panjang identik dengan tujuan instruksional umum dan tujuan jangka pendek identik dengan tujuan instruksional khusus. Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang harus dicapai dalam waktu yang relatif lama, seperti: tujuan akhir semester, akhir program atau tujuan akhir setelah belajar di sekolah itu. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah tujuan yang menuntut terjadinya perubahan prilaku yang diharapkan dalam waktu yang relatif singkat, misalnya tujuan setelah proses pembelajaran (TIK) atau tujuan setelah satu atau dua kali pertemuan. Untuk itu, rumusan tujuan jangka pendek harus spesifik dan operasional  serta mudah diukur.

4. Merancang Metode dan Prosedur Pembelajaran

Proses pembelajaran dalam rancangan PPI harus betul-betul dapat menggambarkan setiap tujuan pembelajaran dapat dikerjakan dan diselesaikan, serta penilaian yang dikembangkan betul-betul dapat menggambarkan prilaku anak atau keberhasilan pembelajaran anak.  Pelaksanaan proses pembelajarannya mungkin dirancang dengan cara mengelompokkan anak berdasarkan kondisi dan karakteristik bahan yang akan diproses secara kooperatif, mungkin sangat heterogen dan dikelola lebih individual.
Proses pembelajaran secara kooperatif harus dikelola guru sesuai dengan kondisi dan situasi peserta didik yang dihadapinya. Perubahan strategi atau metode sangat mungkin terjadi. Untuk itu, dalam mengelola proses pembelajaran, kreativitas guru menjadi sangat menentukan 

5. Menentukan Evaluasi Kemajuan

Evaluasi kemajuan kemajuan belajar dimaksudkan untuk mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek. Hal penting dalam melakukan evaluasi keberhasilan siswa adalah melihat terjadinya perubahan prilaku pada diri siswa sendiri sebelum dan sesudah pembelajaran berlangsung, dan bukan membandingkan keberhasilan tingkat pencapaian tujuan belajar siswa satu dengan lainnya di kelas itu. Metodenya  dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk (lisan, tulisan, perbuatan, observasi saat proses berlangsung). Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan dua sisi, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Kedua evaluasi ini memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Evaluasi proses, penting dalam kaitannya dengan melakukan berbagai perubahan dalam strategi pembelajaran, sedangkan evaluasi hasil untuk melihat tingkat pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan
Laporan evaluasi kemajuan siswa hendaknya bersifat kualitatif, melalui cara penilaian ini akan memberi gambaran yang nyata, riil dan tidak akan mengaburkan gambaran kemampuan yang sesungguhnya dicapai siswa. 
Laporan kemajuan siswa secara kuantitatif sering membingungkan orangtua karena memberikan gambaran yang tidak jelas. Misalnya, pemberian angka 8 tidak memberikan makna apa-apa, bahkan mungkin menyesatkan. 
PPI dalam pelaksanaannya sebaiknya  diperbaiki secara terus menerus, setiap perubahan hendaknya merujuk kepada pencapaian tujuan yang telah dan sedang dicapai serta temuan-temuan yang diperoleh berdasarkan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.

C. Sistem Pendukung (Support System)

Beberapa sistem pendukung yang diperlukan guna memperlancar model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pendidikan yang diindividualisasikan, yaitu:
1.      Sekolah dan Guru Ramah.
Sekolah ramah (welcoming school) dan guru yang ramah (welcoming teacher) merupakan syarat utama dalam mengembangkan model layanan pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan. Sekolah dan guru ramah adalah sekolah dan guru  yang tidak diskriminatif terhadap kondisi kecerdasan, fisik, sosial, emosi, kepercayaan, ras atau suku, golongan keyakinan, serta memahami dan menerima kebegaraman, mengutamakan pengembangan potensi siswa sesuai dengan bakat, minat dan karakteristiknya. 
Sekolah dan guru ramah merupakan sekolah dan guru yang mengakui keberagam manusia sebagai anugerah Yang Maha Kuasa – sekolah dan guru yang mengakui eksistensi manusia, sekolah dan guru  dan memiliki keyakinan bahwa semua individu manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan memahami bahwa setiap individu manusia memiliki harapan, bakat, minat yang berbeda-beda. Sekolah dan guru demikian akan melayani dan memperlakukan siswa dalam pembelajarannya sesuai dengan harapan, bakat, minatnya.     
2.      Pusat Sumber (Resource Center) dan sarpras.
Sekolah ramah (welcoming school) dan guru ramah (welcoming teacher) sebagai syarat utama layanan pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pengajaran yang diindividualisasikan, pelayanan pembelajaran akan berjalan semakin mulus apabila didukung oleh pusat sumber yang dapat membantu memberikan bantuan teknis kepada sekolah yang didalamnya ada anak berkebutuhan khusus.
Tugas dan fungsi pusat sumber adalah menyediakan guru pendidikan kebutuhan khusus yang professional yang disebut sebagai guru kunjung (iteneran teacher). Tugas guru kunjung membantu guru sekolah reguler dalam membantu melakukan asesmen dan merancang pembelajaran serta memberikan layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus, disamping itu, pusat sumber mempunyai tugas disamping menyediakan guru kunjung, juga menyediakan alat/media belajar yang diperlukan anak berkebutuhan khusus, seperti penyediaaan buku teks braille bagi tunanetra, memberikan pelatihan dan pendampingan tertentu bagi guru sekolah reguler, orangtua maupun anak berkebutuhan khusus. Pusat sumber merupakan tempat berkumpulnya para professional.
Sekolah dan guru ramah adalah sekolah yang memiliki dan menyediakan prasarana asesibilitas yang memadai sehingga memudahkan anak dalam melakukan mobilitas, misalnya: tersedia jalan untuk anak yang menggunakan kursi roda, tersedia jalan yang tidak membahayakan anak yang mengalami gangguan penglihatan, penggunaan huruf-huruf braile pada setiap pintu ruangan.       

3. Perluasan Peran dan Tugas SLB

Dalam perspektif layanan pendidikan inklusif melalui model pembelajaran yang diindividualisasikan, peran dan tugas SLB adalah sebagai pusat sumber bagi sekolah-sekolah yang mengembangkan pendidikan inklusif. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, pemerintah propinsi atau kabupaten kota harus dapat mengkoordinasikan antara sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif dengan SLB. Misalnya, pembuatan SK guru SLB untuk melakukan sebagian waktu tugasnya di sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif atau menugaskan untuk menjadi iteneran teacher. Perluasan peran dan tugas SLB dibangun melalui kemitraan dengan sekolah-sekolah yang mengembangkan pendidikan inklusif. Dengan demikian, tugas SLB tidak hanya melayani pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya (SLB), tetapi juga melayani  pendidikan di sekolah-sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif.       

4. Kemitraan dengan lembaga berkait (Dinas Kesehatan, Depsos/Dinsos, Depag, Perindustrian, Hukum dan HAM)

Penyelenggaraan pendidikan inklusif akan semakin mulus dalam pelaksanaannya apabila sekolah mengembangkan kemitraan dengan lembagalembaga berkait atau departemen-departemen terkait, misalnya dengan departemen kesehatan dalam pemeriksaan kesehatan fisik, depertemen sosial dalam bantuan asesibililitas, departemen perindustrian dalam mengembangkan kecakapan vokasional, departemen hukum dan HAM dalam perlindungan hukum.     

5. Dukungan orangtua

Dukungan orangtua dan kerjasama dengan sekolah sangat diperlukan dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah dalam upaya optimalisasi potensi anak, kerjasama yang erat antara orangtua dan guru dapat menghasilkan solusi terbaik dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah (Kremer, 1991). Keterlibatan orangtua secara aktif  terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah.
Keterlibatan orangtua dalam pendidikan, biasanya terbatas pada urusan pembiayaan operasional sekolah, kurang menyentuh pengembangan kebutuhan pembelajaran anak. Oleh karena itu, keterlibatan atau dukungan orangtua perlu dikembangkan terhadap persoalan  pendidikan yang lebih luas, apabila akses orangtua ke sekolah lebih terbuka, permasalahan-permasalahan dan kebutuhankebutuhan yang dihadapi anak segera dapat ditanggulangi.     
6. Kebijakan Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Kebijakan-kebijakan pemerintah baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kota sangat diperlukan sebagai payung hukum dalam mengembangkan layanan pendidikan model pendidikan inklusif. Misalnya, pemerintah membuat regulasi yang mengatur sistem penerimaan siswa baru (PSB) bagi anak berkebutuhan khusus melalui satu pintu masuk, yaitu melalui sekolah reguler yang terdekat dengan lingkungan anak. Pemerintah membuat kebijakan untuk mendekatkan anak dengan sekolah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten kota sebagai payung kekuatan yang dapat dijadikan lanndasan bergerak bagi sekolah, guru dan staff dalam  memperlancar dan memuluskan pengembangan pembelajaran model pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan       

D. Kesimpulan

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak diskriminatif terhadap kondisi perbedaan-perbedaan anak, pendidikan yang ramah terhadap semua perbedaan anak, pendidikan yang merangkul semua perbedaan untuk belajar dalam komunitasnya.
Model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) merupakan sebuah rancangan pembelajaran yang akodatif terhadap perbedaan individu, atau suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar. Dengan kata lain,  anak mengerjakan tugas-tugas sesuai dengan kondisi dan motivasinya. 
Tujuan model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan  (PPI) adalah untuk optimalisasi  potensi peserta didik dalam proses pembelajaran dan pendidikannya.
Langkah-langkah operasional model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan dilakukan melalui tahapan pembentukan tim,  penilaian kebutuhan pembelajaran peserta didik, menuentukan tujuan pembelajaran, merancang metode dan prosedur pembelajaran dan menetapkan  evaluasi kemajuan.
Model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan akan berjalan dengan mulus apabila didukung oleh sekolah dan guru yang ramah, pusat sumber (reseource centre) dan sarana prasarana yang memadai,  perluasan peran dan tugas SLB, kemitraan dengan berbagai lembaga berkait, orangtua, serta adanya kebijakan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang memayungi gerak dan langkah sekolah dan guru dalam mengembangkan program-programnya   
   

DAFTAR BACAAN



Departemen Pendidikan Nasional at all, (2007), Merangkul Perbedaan: Perangkat
                                untuk     Mengembangkan     Lingkungan    Inklusif,     Ramah     terhadap
Pembelajaran, Jakarta

Endang Rochyadi, (2001), Penerapan Program Pembelajaran Individual bagi Anak
Tunagrahita, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

Johnsen, B.H. & Skjorten, M.D., (2003), Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar, judul Asli Education – Special Needs Education An
Introduction. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universotas Pendidikan Indonesia  
 
Lynch, James, (1994), Proyection for Children with Special Need Education in Asian Region, USA: The World Bank

Mercer, Cecil D & Mercer, Ann R., (1989), Teaching Student with Learning Problems, Aus: Merill Publishing Company A  Bell & Howel Information Company 


Zaenal Alimin & Permanarian S., (2004), Jassi Anakku, Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus,  Volume 3 No. 1. Bandung: Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia    

Comments