NIM :
1500670
KELAS/PRODI :
A / PGSD PENDIDIKAN JASMANI
MATA KULIAH :
PENGORGANISASIAN KELAS PENJAS DISABILITAS
MODEL DAN
STRATEGI PEMBELAJARAN ABK
DALAM
SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF
Oleh:
H i d a y a t
(Dosen PLB & Psikologi FIP UPI)
A.
Pendahuluan
Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup
Pendidikan Inklusif. Hal ini dilatarbelakangi oleh keragaman budaya, bahasa,
agama, dan kondisi alam yang terfragmentasi secara geologis dan geografis.
"Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling menarik untuk
menghadapi permasalahan dan tantangan pendidikan inklusif, karena inilah negara
kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 buah.
Pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan,
melainkan juga bagi anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS, anak-anak yang
berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anakanak jalanan
(anjal), anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak
korban bencana alam. "Anak-anak ini semua membutuhkan layanan pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhannya.
Anak-anak tersebut dalam paradigma pendidikan inklusif
disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK ini ada dua kelompok, yaitu:
ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk
kategori ABK temporer meliputi:
anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah,
anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah
perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban
HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity
Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas
(Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan
inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Dalam hal ini, ada empat
strategi pokok yang diterapkan pemerintah, yaitu: peraturan perundang-undangan
yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK
temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek
fleksibilitas dan aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal,
nonformal, dan informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
B.
Aspek-aspek penting dalam Pendidikan Inklusif
Sebelum membahas aspek-aspek penting dalam pendidikan
inklusif, terlebih dahulu penulis perlu memberikan gambaran tentang konsep
dasar ABK yang dibahas dalam makalah ini. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah
mereka yang mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara, yang
disebabkan oleh kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau,
kondisi politik dan/atau, kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan
kata lain, kita tidak hanya membicarakan kelompok minoritas yang disebabkan
oleh kelainan saja, tetapi mencakup sejumlah besar anak yang sekolah. Oleh
karenanya, sekolah hendaknya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi
fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, ataupun kondisi-kondisi lainnya.
Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka
yang berkebutuhan pendidikan khusus. Mengubah sekolah atau kelas tradisional
menjadi inklusif, ramah terhadap pembelajaran merupakan suatu proses dan bukan
suatu kejadian tiba-tiba. Proses ini tidak akan terjadi dalam sehari, karena
memerlukan waktu dan kerja kelompok.
Selanjutnya aspek-aspek penting yang harus diperhatiakan
dalam menyelenggarakan sekolah yang inklusif adalah:
1.
Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan kemampuan yang
beragam. Peningkatan kemampuan ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara,
seperti: pelatihan, tukar pengalaman, lokakarya, membaca buku, dan
mengeksplorasi/menggali sumber lain, kemudian mempraktekkannya di dalam
kelas.
2.
SEMUA anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang
perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya,
seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah ditandatangani semua
pemerintah di dunia.
3.
Guru menghargai semua anak di kelas, guru berdialog
dengan siswanya; guru mendorong terjadinya interaksi di antara anak-anak; guru
mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan; guru mempertimbangkan keragaman
di kelasnya; guru menyiapkan tugas yang disesuaikan untuk anak; guru mendorong
terjadinya pembelajaran aktif untuk semua anak.
4.
Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap
orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan
bermain bersama. Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan
tidak diskriminatif, sensitif terhadap semua budaya, serta relevan dengan
kehidupan sehari-hari anak.
5.
Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan
kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan
informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya. Selain
itu, tidak ada kekerasan terhadap anak, pemukulan atau hukuman fisik.
Menurut laporan UNESCO tahun 2003, ketika Pendidikan Inklusif
diterapkan, penelitian terkini menunjukkan adanya peningkatan prestasi dan
kemajuan pada semua anak. Di banyak daerah di dunia dilaporkan, bahwa diperoleh
manfaat pribadi, sosial, dan ekonomi dengan mendidik anak-anak usia sekolah
dasar yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum. Kebanyakan siswa dengan
kebutuhan khusus ini berhasil diakomodasi dengan lebih menyenangkan melalui
cara yang ramah dan menghargai keragaman ini.
Adapun manfaat lingkungan
pembelajaran yang inklusif adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat bagi
anak, yaitu: kepercayaan dirinya berkembang; bangga pada diri sendiri atas
prestasi yang diperolehnya; belajar secara mandiri; mencoba memahami dan
mengaplikasikan pelajaran di sekolah dalam kehidupan sehari-hari; berinteraksi
secara aktif bersama teman dan guru; belajar menerima perbedaan dan beradaptasi
terhadap perbedaan; dan anak menjadi lebih kreatif dalam pembelajaran.
2.
Manfaat bagi
guru, antara lain: mendapat kesempatan belajar cara mengajar yang baru
dalam melakukukan pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki latar belakang
dan kondisi yang beragam; mampu mengatasi tantangan; mampu mengembangkan sikap
yang positif terhadap anggota masyarakat, anak dan situasi yang beragam;
memiliki peluang untuk menggali gagasan-gagasan baru melalui komunikasi dengan
orang lain di dalam dan di luar sekolah; mampu mengaplikasikan gagasan baru dan
mendorong peserta didik lebih proaktif, kreatif, dan kritis; memiliki
keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan anak untuk memperoleh hasil yang
positif.
3.
Manfaat bagi
orangtua, antara lain: orangtua dapat belajar lebih banyak tentang
bagaimana anaknya dididik; mereka secara pribadi terlibat dan merasa lebih
penting untuk membantu anak belajar. Ketika guru bertanya pendapat mereka
tentang anak; orangtua merasa dihargai dan menganggap dirinya sebagai mitra
setara dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas untuk anak;
orangtua juga dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya di rumah dengan
lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah.
4.
Manfaat bagi
masyarakat, antara lain: masyarakat lebih merasa bangga ketika lebih banyak
anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran; masyarakat menemukan lebih banyak
"calon pemimpin masa depan" yang disiapkan untuk berpartisipasi aktif
di masyarakat. Masyarakat melihat bahwa potensi masalah sosial, seperti:
kenakalan dan masalah remaja bisa dikurangi; dan masyarakat menjadi lebih
terlibat di sekolah dalam rangkah menciptakan hubungan yang lebih baik antara
sekolah dan masyarakat.
C. Welcoming schools untuk semua anak
Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja
bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan
mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming School). Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca
(Salamanca Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi
Dunia tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa
“Pendidikan untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu
institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap anak
berbeda (each children are different)
dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference
ist a strength), dengan demikian kualitas proses belajar perlu ditingkatkan
melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau
masyarakat.
Seperti halnya kondisi nyata di sekolah, hampir setiap kelas
senantiasa ada sebagian murid dalam kelas yang membutuhkan perhatian lebih,
karena termasuk ABK, seperti: hambatan penglihatan, atau pendengaran, fisik,
atau mental-kecerdasan atau emosi, atau perilaku-sosial, autis dan lainnya,
sehingga mereka membutuhkan akses fisik dan modifikasi kurikulum serta
mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua murid dapat menyesuaikan diri
secara efektif dalam semua kegiatan sekolah.
Di Sekolah yang Ramah (Welcoming
Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah
sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman
(to be save and secure), untuk
mengembangkan diri (to develop a sense of
self), untuk membuat pilihan (to make
choices), untuk berkomunikasi (to
communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia
yang terus berubah (live in a changing
world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi
kontribusi yang bernilai (to make valued
contributions).
Persoalan kurikulum di Sekolah yang Ramah merupakan
tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah dalam mempertahankan
keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi semua anak. Penyesuaian kurikulum
bukanlah tentang penurunan standar persyaratan ataupun membuat latihan menjadi
lebih mudah bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau berkebutuhan
khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk memenuhi keanekaragaman,
membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang oleh guru-guru dan
bekerjasama dengan murid-murid, orang tua, rekan-rekan guru, dan staf.
Di sekolah-sekolah yang ramah, kita dapat melihat kerja dari
para guru, di mana dalam kelas, mereka melakukan upaya untuk meminimalkan
hambatan untuk belajar dan berpartisipasi untuk mempromosikan keikutsertaan
seluruh anak di sekolah. Guru-guru sebaiknya bersikap fleksibel dalam menyusun
penyesuaian kurikulum (make curriculum
adjustments). Mereka merencanakan untuk semua kelas (plan for the whole class) dan menggunakan metode pengajaran
alternatif (use alternative methods).
Selain itu, dalam welcoming
schools senantiasa terdapat akses fisik yang baik (ensure physical access) dan para gurunya mempersiapkan diri lebih
awal (prepare well ahead). Persiapan
untuk pelajaran melibatkan pemikiran tentang bagaimana memastikan bahwa semua
murid berpartisipasi dalam proses belajar dan bagaimana kebutuhan kurikulum
dibedakan berdasarkan kebutuhan individu. Guru senantiasa memikirkan, bagaimana
mengelompokkan kelas, dan materi apa yang diperlukan oleh anak didiknya. Semua
ini tergantung pada konteks sekolah, ruang kelas, dan kebutuhan anak. Tindakan
guru seperti ini sudah menunjukkan sikap inklusi. Kinerja guru yang inklusi
salah satu indikasinya selalu berupaya untuk memperbaiki cara mengajar dan
menyesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Pada sekolah yang ramah, guru-guru menggunakan beragam
metode pengajaran dan gaya presentasi untuk menjamin bahwa semua murid
memperoleh keuntungan maksimal dari sekolah. Mereka sadar bahwa dengan
kebutuhan pendidikan khusus, maka membutuhkan penyesuaian dan modifikasi
kurikulum yang berbeda. Memanfaatkan teknologi yang ada (use available technology) dapat membantu pemahaman anak. Kita dapat
melihat bahwa welcoming schools yang
inklusif terlihat berbeda dari satu negara ke negara lain.
Di samping itu, guru di sekolah yang ramah bekerja untuk mengembangkan
lingkungan belajar yang suportif (supportive
school environtments) di dalam kelas, di sekolah dan sekitar sekolah dalam
komunitasnya. Jadi pada sekolah yang ramah itu, guru senantiasa membimbing
suatu generasi yang dapat menerima dan toleran terhadap siapapun yang mempunyai
kebutuhan yang berbeda. Membangun kemitraan dengan orang tua dan komunitas
adalah suatu proses, yang tidak dapat terjadi dalam semalam.
D. Program dan Strategi
Pembelajaran untuk Semua Anak
Untuk merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan
kemampuan setiap anak dari masing-masing kelompoknya di kelas, maka sebaiknya
kita menggunakan strategi pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman (differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda.
Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan
atau penyesuaian antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/hadiah.
tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan
yang diberikan pada anakanak dari masing-masing kelompok yang beragam,
meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang
sama. Misalnya, harapan atau target
belajar matematika untuk anak kelas III SD yang cepat belajarnya (high function
learners) adalah memahami dan mampu menggunakan perkalian dalam soal ceritera
dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak.
Sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya
rata-rata (average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada
tahapan semi konkrit, dan untuk anak yang lambat belajarnya (slow learners)
mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak
autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan
pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan dengan
bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya).
Demikian pula dalam alokasi
waktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan perkembangan
belajar dari masingmasing kelompok tersebut. Jadi proses layanan
pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan
disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih
demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari
masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut
tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya,
melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas
reguler.
Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan
dengan keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas
yang sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya
masing-masing. Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi
pelajaran dan alokasi waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada
umumnya (average group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya
atau sama dengan temannya yang autis.
Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu meyakini bahwa
mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada semua anak, maka
mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward
ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya.
Khususnya buat anak-anak yang
lambat belajarnya, dengan memperoleh
reward pada setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses
belajarnya, maka membuat mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan
tugas atau pekerjaannnya.
Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka
harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam
belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa
senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas seperti itu, harga diri anak ditingkatkan
melalui reward (penghargaan/pujian); di dalam kelompok ini anak yang kooperatif
dan ramah didukung; sehingga anak merasa sukses serta senang belajar sesuatu
yang baru.Begitu juga bantuan dan bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap
perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak
autis dan anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak autis dan yang lambat belajarnya membutuhkan
bimbingan pada setiap tahapan belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir
proses belajar seperti telah dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan
optimal, maka dapat mengantarkan semua anak untuk mencapai proses belajar yang
menyenangkan (joy of learning dan fun of learning)
E. Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional
(UASBN) ABK di Sekolah Dasar
Dengan model UASBN
tentunya setiap siswa diwajibkan menyelesaikan semua soal untuk menguji
kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran yang diujikan (Bahasa
Indonesia, Matematika, dan IPA). Pada kenyataannya ketika UASBN ini
dilaksanakan, siswa berkebutuhan khusus di Sekolah yang paradigmanya inklusi
mengalami banyak hambatan dalam menyelesaikan soal ujiannya, karena mereka
mendapatkan soal yang memiliki tingkat kesulitan dan standar kelulusan yang
sama dengan anak-anak lainnya, akibatnya materi yang telah dikuasai oleh ABK
tidak cukup memadai untuk menjawab soal-soal yang diujikan.
Di samping itu juga cukup dilematis bagi ABK di sekolah
reguler, karena mereka tidak mungkin ikut UASBN SDLB yang secara administratif
di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi, sementara USBN SD di bawah otonomi
masing-masing Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sehingga ABK yang belajar di SD
dalam setting Pendidikan Inklusif mendapatkan lembaran soal yang bobotnya sama
dengan anak-anak lainnya. Padahal idealnya bahan ujiannya yang menyesuaikan
pada kondisi, kompotensi, dan program belajar ABK.
Adapun dampak negatif bagi ABK yang mendapatkan soal yang
tidak relevan dengan kompetensinya adalah sebagai berikut:
1.
Motivasi dan semangat mereka untuk mengikuti ujian
menjadi menurun karena mendapat soal ujian yang belum dipahami.
2.
Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menyesuaikan
diri dengan soal-soal yang baru dikenalinya.
3.
Konsentrasi, atensi, dan rasa percaya diri mereka
menjadi berkurang, sehingga potensi dan kemampuan belajar yang telah
dikuasainya tidak dapat diwujudkan secara optimal.
4.
Peluang ABK untuk mencapai standar kelulusan relatif
kecil.
1. Hasil Belajar Siswa
Tiap kegiatan belajar harus mempunyai suatu tujuan yang
perlu dinilai dengan beberapa cara. Penilaian harus menjabarkan hasil belajar;
yaitu memberikan gambaran seberapa jauh siswa berhasil dalam mengembangkan
serangkaian keterampilan, pengetahuan, dan perilaku selama pembelajaran dengan
topik atau kurikulum yang fleksibel.
Hasil akhir untuk siswa harus berhubungan dengan apa yang
dapat mereka lakukan sebelumnya dan apa yang dapat mereka lakukan sekarang. Hal
ini tidak ada hubungannya dengan ujian
standar yang dilakukan tiap akhir tahun ajaran. Siswa dalam kelompok usia atau
kelas yang sama mungkin mempunyai setidaknya tiga tahun perbedaan dalam hal
kemampuan umum dibandingkan teman-teman sebayanya dan dalam matematika bisa
sampai tujuh tahun perbedaannya. Ini berarti bahwa membandingkan sesama siswa
dengan menggunakan tes yang distandarisasi adalah tidak adil untuk seluruh anak
(termasuk mereka yang kemampuan akademisnya jauh di bawah rata-rata kelasnya
dan mereka yang kecerdasannya sangat jauh di atas teman-teman sebayanya).
Seorang guru, orangtua atau konselor harus melihat UASBN ini
sebagai penilaian penting sejauh pertimbangan mereka pada peserta didiknya.
Salah satu penyebab terbesar rendahnya penghargaan diri pada siswa adalah
penggunaan perbandingan, khususnya di sekolah. Ujian akhir ini harus menjadi
salah satu komponen penilaian komprehensif dari kemajuan siswa. Ujian ini
ditujukan pada peningkatan kesadaran guru, peserta didik dan orangtua atau
pembimbing tentang kemampuan siswa. Ini juga harus digunakan untuk
mengembangkan strategi mencapai kemajuan selanjutnya. Kita tidak boleh
menekankan pada kelemahan atau kekurangan siswa. Tapi, kita harus menayakan apa
yang telah dicapai siswa dan menentukan bagaimana kita dapat membantu mereka
untuk belajar lebih banyak lagi. Dengan disertai penilaian autentik dan
berkelanjutan, maka guru dapat mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan
dikuasai anak didik serta beberapa penyebab mengapa siswa tidak termotivasi
belajar dan menyelesaikan soal ujian.
2.
Penilaian Berkelanjutan
Untuk menilai hasil belajar ABK tentunya tidak hanya
didasarkan pada hasil UASBN, tetapi juga mempertimbangkan dari hasil penilaian
berkelanjutan. Penilaian
berkelanjutan dilakukan untuk mengamati secara terus menerus tentang sesuatu
yang diketahui, dipahami, dan yang dapat dikerjakan oleh siswa. Penilaian ini
dapat dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya: awal, pertengahan, dan
akhir tahun melalui: obserasi; portofolio; bentuk ceklis (keterampilan,
pengetahuan, dan perilaku); tes, kuis; dan penilaian diri serta jurnal
reflektif. Dengan menggunakan penilaian yang berkelanjutan, guru dapat
mengadaptasi perencanaan dan pengajarannya sesuai fase perkembangan belajar
siswa, sehingga semua siswa akan mendapatkan peluang untuk belajar dan sukses.
F. Penutup
Jadi dapat disimpulkan, bahwa model lingkungan pembelajaran
yang inklusif tersebut dapat memotivasi guru, pengelolah/kepala sekolah, anak,
keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak, misalnya di kelas
peserta didik beserta guru bertanggungjawab kepada pembelajaran dan secara aktif
berpartisipasi di dalamnya. Belajar berkaitan dengan materi apa yang dibutuhkan
dan bermakna dalam kehidupannya. Lingkungan yang inklusif, ramah terhadap
pembelajaran juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan keinginan kita sebagai
guru.
Ini berarti memberikan kesempatan kepada
kita untuk belajar bagaimana mengajar yang lebih baik. Jadi model pendidikan
inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak ke sekolah daripada
kekurangan mereka yang terlihat, dan secara khusus melihat pada bidang mana
anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam kehidupan normal
masyarakat atau sekolah, atau memperhatikan apakah mereka memiliki hambatan
fisik dan sosial karena lingkungan yang tidak kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Skjorten, MD. (2001). Towards
Inclusion, Education-Special Needs Education An
Introduction. Oslo: Unipub
forlag.
Santrock, John W. (1997).
Live-Span Development. Sixth Edition.
USA. Brown & Benchmark Publisher.
Skjorten, MD. (2001). Towards
Inclusion and Enrichment, Artikel in Johnsen. Oslo: Unipub forlag.
………….., (1994). The
Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities. New York : United
Nations.
……………, (1994). The
Salamanca Statements and Framework for Action on Special Needs Education. Paris : UNESCO.
…………….., (2001). Understanding
and Responding to Children’needs in Inclusive
Classroom. Perancis : UNESCO.
SUMBER :
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195705101985031-ENDANG_RUSYANI/MODEL_PEMBELAJARAN_PEND_INCLUSIF.pdf
http://puterakembara.org/BPP/Makalah1.pdf/file.upi.edu
Comments
Post a Comment